Rabu, 08 Agustus 2018, merupakan hari yang berkesan bagi para petambak gracilaria Kelompok Samaturu. Bagaimana tidak, Patricia Bianchi yang merupakan ASC-MSC (Aquaculture Stewardship Council – Marine Stewardship Council) Seaweed Account Manager, Anthony Alvin dari MSC Indonesia dan Nur Ahyani dari program akuakultur WWF-Indonesia bertandang ke sekretariat Samaturu, di Dusun Cilallang, Kelurahan Takalar Lama, Kabupaten Takalar.
Tujuan kedatangan Patricia dkk ke Takalar, yaitu untuk melakukan kunjungan lapangan pasca pelatihan ASC – MSC Seaweed yang diadakan oleh WWF-Indonesia bekerjasama dengan UNIDO (United Nation Industrial Development Organization), pada 6 – 7 Agustus 2018. Takalar dipilih karena sudah berlangsung pendampingan menuju budi daya yang bertanggungjawab dan berkelanjutan dengan mengacu pada panduan BMP (Better Management Practice) Budi Daya Gracilaria. Selain itu, telah ada komitmen dari Celebes Seaweed Group (CSG) –produsen rumput laut yang mengikuti program perbaikan budi daya Seafood Savers WWF-Indonesia- untuk mengajak pembudidaya menerapkan budi daya berkelanjutan berdasarkan standar ASC – MSC Seaweed.
Di Takalar Lama, Patricia DKK melihat langsung kawasan tambak gracilaria dampingan WWF-INDONESIA dan CSG. Ia mengkonfirmasi kondisi lapangan berdasarkan prinsip – prinsip ASC – MSC Seaweed. Misalnya, dia menanyakan secara detil kondisi mangrove kawasan tambak seluas 60.3 Hektar serta langkah – langkah yang telah dilakukan untuk perbaikan lingkungan kawasan tambak.
Sejauh ini data luasan mangrove dan peta mangrove pada kawasan tambak sudah tersedia, telah dilakukan penanaman dan pembibitan mangrove oleh pembudidaya gracilaria and informasi asal usul bibit dan pengelolaannya. Di samping itu, tim mengkonfirmasi dampak sosial yang ditimbulkan, pengelolaan kelembagaan kelompok dan ada tidaknya aturan lokal atau sistem internal yang berlaku dalam kawasan budi daya.
“Saat ini kita sedang melakukan pembibitan mangrove di salah satu rumah petambak. Ke depannya, bibit tersebut akan ditanam oleh Kelompok Samaturu. Sejauh ini anggota kelompok Samaturu sudah paham pentingnya mangrove di kawasan tambak, serta memiliki keinginan untuk memperbaiki kondisi lingkungan,” Idham Malik, Aquaculture Staff.
Tak berselang lama tim ASC – MSC Seaweed berdiskusi dengan para petambak di sekretariat Kelompok Samaturu’. Patricia dan Antony memaparkan standar ASC – MSC Seaweed dan prinsip-prinsipnya, yaitu (1) Keberlanjutan populasi rumput laut non-budi daya; (2) Dampak lingkungan; (3) Penanganan efektif; (4) Tanggung jawab sosial; dan (5) Relasi dan komunikasi komunitas.
Setelah tambak Gracillaria rombongan pun melanjutkan perjalanan ke Sanrobone untuk melihat budi daya rumput laut Eucheuma spinosium di laut dan melakukan wawancara ke petani terkait harga rumput laut, gaji pembibit, cara pembibitan, cara bududaya, status lahan dan lainnya.
Kunjungan ini memberi pemahaman baru pada para pembudidaya gracilaria sistem tradisional. Mereka mulai mengenal pentingnya sertifikasi ekolabel perikanan budi daya rumput laut, peran pembudidaya dalam mendorong pelaku usaha, peran pengolah maupun pembudidaya untuk memperaktikkan budi daya gracilaria yang bertanggung jawab dan ramah lingkungan melalui tekanan konsumen akan produk ramah lingkungan. Selain itu, kunjungan juga menghasilkan rekomendasi perlunya dilakukan pendataan mengenai dampak tambak terhadap lingkungan dan sosial masyarakat secara ilmiah, untuk lebih meyakinkan besaran dampak positif maupun negatif.
“Respon pembudidaya cukup baik. Ke depan, CSG akan segera mendorong pelaksanaan perbaikan budidaya menuju Sertifikat ASC – MSC Seaweed. Terlebih dahulu kami melakukannya di Kecamatan Cenrana Kabupaten Bone, sebab di sana CSG punya basis pembudidaya yang kuat,” Muchtar Saleh, Quality Control CSG.
Harapannya, kunjungan ini dapat mendorong CSG untuk dapat menjadi pionir perusahaan rumput laut yang memproduksi rumput laut gracilaria yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.