Semakin meningkatnya permintaan produk perikanan yang jelas asal usulnya, ramah lingkungan dan dapat dipertanggungjawabkan menjadi salah satu fokus dalam perbaikan pengelolaan saat ini, baik dari segi perikanan tangkap dan budidaya. Tuntutan ini sejatinya muncul dari konsumen seafood global yang lebih peduli akan keberlanjutan stok perikanan di alam, terutama untuk komoditas ekspor. Tak terbatas pada beberapa komoditas favorit seperti tuna dan udang, peningkatan kesadaran akan keberlanjutan seafood pun juga terjadi pada konsumen ikan sidat olahan.
Perikanan sidat yang cukup unik dan penuh tantangan (selengkapnya di sini) memerlukan koordinasi yang intensif dengan beberapa pihak yang terlibat dalam aktivitas perikanan ini, mulai dari pemerintah, pelaku penangkapan hingga industri. Tantangan tersebar mulai dari hulu hingga hilir, seperti puzzle yang perlu disusun menjadi satu rangkaian. Pekerjaan ini tentunya tidak mudah dan memerlukan koordinasi yang efektif antar pihak.
Berdasarkan pada latar belakang tersebut, WWF Indonesia bersama dengan mitra melakukan pertemuan dengan pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan sidat berkelanjutan di Indonesia pada tanggal 29 April 2019. Pertemuan ini dihadiri oleh: 1) perwakilan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bagian KKHL, DJPB, Pusriskan, BRPPUPP, 2) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI, 3) Institut Pertanian Bogor/IPB, 4) pelaku industri budidaya sidat PT Iroha Sidat Indonesia dan PT Labas, 5) FAO Indonesia dan 6) perwakilan dari WWF Jepang, serta Chuo University.
Pertemuan ini membahas update terbaru implementasi perbaikan perikanan baik dari segi penangkapan/FIP dan juga budidaya/AIP oleh Achmad Mustofa dan Nur Ahyani dari WWF Indonesia. Diskusi hangat muncul dalam pembahasan perbaikan perikanan ini yang memang membutuhkan kerja bersama untuk menjawab tantangan yang ada, seperti penghimpunan data dan pelaksanaan penelitian-penelitian sebagai rekomendasi pengelolaan termasuk analisis stok & dampak terhadap habitat-ekosistem, pencatatan dan pengembangan sistem keterlacakan atau traceablity, peningkatan kualitas glass eel (GE) tangkapan nelayan untuk nilai SR (Survival Rate) yang lebih baik, identifikasi penyakit bawaan alami dari alam serta penyusunan regulasi yang tepat hingga kelembagaan pengelolaan yang efektif.
Kurangnya data perikanann sidat tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga negara-negara di Eropa yang melakukan hal serupa untuk mencegah sumberdaya sidatnya masuk dalam Appendix I CITES. Bagi Indonesia, data yang terhimpun dapat mendukung kondisi Non-Detriment Findings (NDF) meskipun belum sempurna namun setidaknya ada.
“Sejalan dengan kondisi habitat – ekosistem, selain adanya aktivitas penangkapan, tekanan pada populasi sidat juga dikarenakan menurunnya kualitas lingkungan. Ini merupakan tantangan bersama dan koordinasi antar kementerian dibutuhkan, ini bisa dimulai dengan internal policy KKP. Oleh karena itu, sinergi seluruh stakeholder perlu dibangun karena berhubungan dengan pengelolaan jalur ruaya ikan sidat,” tambah Bapak Ateng Supriatna, FAO – Indonesia.
Saat ini pemerintah melalui KKP dan rekomendasi dari LIPI sedang mematangkan peraturan terbatas untuk menjaga rekruitmen dan melindungi indukan, yaitu: a) perlindungan sidat jenis Anguilla bicolor dan Anguilla interioris berupa larangan penangkapan ukuran minimal 2 kg keatas: b) perlindungan sidat (Anguilla marmorata dan Anguilla celebensis) berupa larangan penangkapan ukuran minimal 5 kg keatas; serta c) perlindungan sidat (Anguilla spp) berupa larangan penangkapan glass eel selama dua hari setiap bulan gelap tanggal 27 & 28 Hijriah di Indonesia untuk seluruh spesies Anguilla spp.
“Kegiatan ini sangat relevan dengan program KKP, bersama dengan tim SDI mari kita fokus untuk perbaikan pengelolaan perikanan sidat. Diharapkan setelah ini, terkait pembahasan sidat ini bergulir kami berharap Indonesia muncul menjadi party yang lead terkait sidat, karena potensinya besar dan kesempatannya cukup terbuka lebar,” sahut Bapak M. Firdaus Agung, Ph.D, KKHL-KKP sekaligus menutup kegiatan.
Secara garis besar, proses penyusunan puzzle perbaikan perikanan ikan sidat di Indonesia masih dalam tahap awal, sehingga koordinasi dan kerja sama sangat diperlukan untuk proses yang lebih baik kedepannya. Hal positif ini menjadi landasan untuk mengembangkan ke tahap yang lebih advance menuju sumberdaya perikanan sidat berkelanjutan.