Terhitung sejak tahun 2009, standar Aquaculture Stewardship Council (ASC) mulai diperkenalkan di Indonesia. Didukung oleh WWF, kegiatan pelatihan standar ASC setidaknya telah tiga kali diselenggarakan dengan agenda in-class training dan field visit ke lokasi pembudidayaan tambak udang.
Namun, hampir selama sepuluh tahun lamanya ASC diperkenalkan, sebagian dari pemangku kepentingan belum memiliki pemahaman yang memadai dan mendalam mengenai ASC. Padahal, dengan memiliki sertifikasi ASC, perusahaan tambak udang dapat membantu bisnis dan praktik pembudidayaan udang yang ramah lingkungan serta ikut mensejahterakan pekerja dan masyarakat sekitar.
Beranjak dari asas tersebut, WWF mencoba untuk lebih meningkatkan pemahaman masyarakat dengan mengundang stakeholder terkait dengan memberikan pelatihan di Goodrich Suites pada tanggal 25-28 Juni 2019. Pelatihan tersebut dihadiri oleh 6 orang akademisi sebagai representasi dari beberapa universitas di Indonesia, 3 orang perwakilan NGO terkait perairan, 1 orang perwakilan dari Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta 4 orang perwakilan dari perusahaan tambak udang.
Selama 4 hari kegiatan berlangsung, peserta mengikuti sesi in class-training pada hari pertama dan kedua, kemudian dilanjutkan dengan field visit ke PT Ujung Kulon Sukses Makmur Abadi. Hingga selanjutnya ditutup dengan mempresentasikan hasil temuan lapangan pada hari keempat.
In-class Training Prinsip ASC
[caption id="attachment_3227" align="alignleft" width="300"] ©WWF-Indonesia 2019[/caption]Pada sesi in-class training, peserta mendapatkan pelatihan tentang 7 prinsip ASC dan hal-hal yang diperhatikan dalam penilaian ASC ketika memegang posisi sebagai auditor. Ketujuh prinsip tersebut berkaitan dengan peraturan lokal dan nasional, konservasi habitat hewan dan keberagaman hayati, perlindungan pekerja dan dampak sosial, efisiensi penggunaan sumber daya, pengelolaan penyakit dan dampak lingkungan, serta pembangunan dan pengoperasian unit yang bertanggung jawab.
Berdasarkan kegiatan pelatihan pada sesi in-class training, terdapat beberapa hal yang masih dipertanyakan oleh peserta, yakni kenaikan nilai jual tambak setelah standar ASC diperoleh, riwayat bibit udang, asuransi kesehatan bagi para pekerja, pemberian gaji dan bonus, serta keberlanjutan diversifikasi hewan dan hayati yang terkadang luput dari fokus pengamatan.
“Salah satu hal yang menantang dalam standar ASC adalah seputar penggunaan p-SIA (Partisipatory Social Impact Assesment) karena mayoritas dari kami berasal dari rumpun sains, metode PSIA yang berfokus pada aspek sosial budaya cukup melelahkan dan membutuhkan waktu yang lama dalam proses verifikasi data dan hal teknis di lapangan,” ungkap Dr. Nurliah dari Universitas Mataram. Pernyataan tersebut menunjukan bahwa latar belakang pendidikan dari peserta menjadi sebuah tantangan dalam proses penilaian standar ASC.
Field Trip Tambak Udang Vanamei Ujung Kulon
[caption id="attachment_3228" align="alignleft" width="300"] ©WWF-Indonesia 2019[/caption]Di samping kegiatan in-class training, ada pula kegiatan field visit yang bertujuan untuk mengukur tingkat pemahaman peserta seputar hal yang berkaitan dengan ASC. Oleh karena itu, pada hari berikutnya, pihak WWF mengagendakan field visit ke perusahaan tambak PT UKSMA (Ujung Kulon Sukses Makmur Abadi).
Dalam kegiatan tersebut, peserta diberikan peran sebagai auditor standar ASC. Peserta diberikan kesempatan berbincang dengan pekerja tambak untuk melakukan wawancara, melakukan verifikasi kebenaran dokumen-dokumen terkait dengan realitas di lapangan, hingga melakukan observasi langsung berkenaan dengan kegiatan di tambak.
Di hari terakhir, peserta mempresentasikan hasil temuan di lapangan. Berdasarkan presentasi tersebut, tim WWF memberikan evaluasi dan rekomendasi terkait dengan metode dan cara pengumpulan data yang telah dilakukan oleh peserta. Pada kegiatan ini, peserta mulai memahami bahwa ketujuh prinsip ASC ini diakui mempertimbangkan prinsip secara komprehensif agar terciptanya pembudidayaan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan (sustainability), walaupun mereka juga mengakui cukup memiliki kendala dan kesulitan saat melakukan field visit.
Pelatihan ditutup dengan pemberian penghargaan oleh tim WWF kepada peserta terbaik selama mengikuti pelatihan. Dengan memberikan penghargaan, WWF berharap agar peserta dapat menjalani peran sebagai asessor yang lebih baik lagi dalam audit praktik budidaya perikanan sesuai standar ASC di kemudian hari.