Keberlanjutan Sumber Daya Kelautan merupakan tanggung jawab semua pihak, salah satunya pemerintah. Baru-baru ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri No 12/PERMEN-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di wilayah Negara Republik Indonesia. Peraturan yang diundangkan pada 5 Mei 2020 di Jakarta ini, merupakan revisi dari Peraturan Menteri No 56/PERMEN-KP/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/ atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) dari wilayah Negara Republik Indonesia.
Secara umum, ada beberapa perbedaan mendasar dari kedua Peraturan Menteri ini, meskipun memang objek yang diatur masih sama, yakni Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.). Permen KP No.12/2020 memberikan pengaturan yang lebih detail ketimbang Permen KP No. 56/2016. Permen KP No.12/2020 mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan bibit, pengeluaran (ekspor), ukuran layak tangkap, alat tangkap yang digunakan (harus bersifat statis/ pasif), budidaya, pengawasan beserta tata caranya, sanksi atas pelanggaran, pemanfaatan komoditas yang telah ditangkap namun tidak sesuai ketentuan, dan lain sebagainya.
Penyesuaian peraturan paling menonjol ada pada komoditas Lobster. Jika Permen KP No. 56/2016 melarang jual-beli Benih Lobster untuk di budidaya[1], Permen KP No. 12/2020 justru mengizinkan pembudidayaan dan ekspor Benih Bening Lobster (Puerulus) dengan Harmonized System Code 0306.31.10 dan/atau Lobster Muda dengan Harmonized System Code 0306.31.10 di wilayah Perairan Republik Indonesia. Bersamaan dengan keputusan ini, serangkaian aturan dibuat untuk mengawal keberlanjutan komoditas Lobster, seperti tata aturan mengenai kuota dan lokasi tangkap benih Lobster yang diundangkan melalui Kepdirjen 51/2020[2]. Melalui Permen ini, KKP juga mengharuskan para pembudidaya Lobster untuk melakukan budidaya di dalam negeri dan melibatkan masyarakat/ pembudidaya setempat, disertai dengan kewajiban untuk melepas 2% hasil budidaya Lobster tersebut ke alam, sesuai dengan ukuran hasil panen[3].
[caption id="attachment_3552" align="aligncenter" width="840"] Lobster - Windi Rizky/ WWF ID[/caption]Selain itu, untuk memudahkan proses pengawasan dan evaluasi, setiap nelayan kecil penangkap dan eksportir Benih Bening Lobster ini harus terdaftar di Dirjen bidang perikanan tangkap, sementara para pembudidaya harus terdaftar di Dirjen bidang perikanan budidaya[4]. Hingga Saat ini pemerintah telah memberikan izin kepada 9 perusaan yang diperbolehkan untuk melakukan ekspor benih Lobster, sembari mengevaluasi kinerja mereka secara berkala[5]. Lebih lanjut, mengenai aturan kondisi layak tangkap, Permen 12/2020 ini menyaratkan bahwa Lobster harus dalam kondisi tidak sedang bertelur, dengan ukuran panjang karapas lebih dari 6 cm dan berat lebih dari 150 gram/ekornya, untuk jenis Lobster Pasir (Panulirus homarus )[6]. Sementara itu, untuk jenis Lobster lainnya ukuran panjang karapas harus lebih dari 8 cm dan berat lebih dari 200 gram/ekor[7]. Keberadaan peraturan baru ini diharapkan dapat berdampak positif pada produksi Lobster di Indonesia, karena semakin banyak wilayah di Indonesia yang bisa melakukan budidaya Lobster dengan tetap mengindahkan keberlanjutan komoditas bernilai ekonomi tinggi ini.
Pada komoditas Kepiting perbedaan mendasarnya ada pada peraturan mengenai budidaya Kepiting Soka. Permen KP 12/2020 mensyaratkan pengusaha budidaya Kepiting Soka harus melakukan pembenihan setelah 3 tahun usahanya berjalan.[8] Keputusan ini ditujukan untuk membuat komoditas Kepiting tetap berkelanjutan. Meskipun memang, bagi pengusaha keputusan ini mungkin akan sedikit menyulitkan, karena pembenihan Kepiting Soka membutuhkan infrastruktur yang berbeda dari sekadar pemeliharaan, dan bisa berimbas pada meningkatnya modal yang dibutuhkan. Lebih Lanjut, mengenai aturan kondisi layak tangkap, Permen 12/2020 ini mensyaratkan Kepiting harus dalam kondisi tidak bertelur (kecuali periode Desember-akhir februari) dengan ukuran lebar karapas lebih dari 12 cm dan berat lebih dari 150 gram/ekornya[9]. Ukuran ini lebih kecil dibanding Permen KP No. 56/2016, yakni ukuran karapas lebih dari 15 cm dan berat 200 gram/ekor.
[caption id="attachment_3553" align="aligncenter" width="840"] Kepiting - Windi Rizky / WWF ID[/caption]Berbeda dengan dua komoditas lainnya, aturan mengenai Rajungan nampak tidak mengalami perubahan yang berarti. Aturan kondisi layak tangkap pada permen ini masih sama dengan permen sebelumnya, bahwa Rajungan harus dalam kondisi tidak sedang bertelur, dengan ukuran lebar karapas lebih dari 10 cm dan berat lebih dari 60 gram/ekornya[10].
Permen KP No 12/2020 memang memberikan peraturan yang lebih detail. Namun, hal yang patut mendapatkan perhatian kedepannya adalah mengenai penentuan metode analisis ilmuah yang nantinya akan digunakan dalam menentukan jumlah stok bibityang dapat dimanfaatkan. Selain itu, komitmen bersama untuk menjalankan pengelolaan Komoditas Lobster, Kepiting, dan Rajungan secara berkelanjutan juga menjadi hal yang patut di jaga. Maka dari itu, mari kita bekerja bersama untuk keberlanjutan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan kita ya, #Seavers! #WeChooseToSave
[1] Pasal 7 Permen KP No. 56/2017 [2] https://industri.kontan.co.id/news/kkp-tetapkan-kuota-penangkapan-benih-lobster-di-wilayah-pengelolaan-perikanan-ri? [3] Pasal 3 Permen KP No 12/2020 [4] Pasal 5 Permen KP No. 12/2020 [5] https://m.merdeka.com/uang/pemerintah-terus-evaluasi-9-perusahaan-yang-diizinkan-ekspor-benih-lobster.html [6] Pasal 2a Permen KP 12/2020 [7] Pasal 2 Permen KP 56/2016 dan Pasal 2 Permen KP 12/2020 [8] Pasal 7 ayat 3 E dan F Permen KP 12/2020 [9] Pasal 7 Permen KP 12/2020 [10] Pasal 4 Permen KP 56/2016 dan Pasal 8 Permen KP 12/2020