Kegiatan dimulai Sabtu sore, relawan mangrove melakukan registrasi dan pemasangan tenda di Pantai Marannu, malam harinya relawan bersama-sama menyaksikan film edukasi mangrove yang dilanjutkan dengan diskusi komunitas. Minggu pagi, relawan melakukan aksi bersih pantai dan menjelang tengah hari, peserta bergeser ke kawasan ekowisata Tongke-Tongke, Sinjai Timur, untuk melakukan penanaman 10.000 propagul mangrove.
Genangan lumpur di lokasi penanaman setinggi betis dan lutut juga tak menjadi halangan. Butuh waktu sekitar 1 jam untuk menuntaskan penanaman 10.000 bibit mangrove jenis Rhizophora mucronata. Dalam kegiatan ini, dilibatkan pula tokoh masyarakat yaitu bapak H. Tayeb selaku perintis mangrove di Desa Tongke-Tongke sejak tahun 1985. Bapak H. Tayeb telah banyak melalui suka duka selama menanam dan memelihara mangrove di hutan mangrove Tongke-Tongke ini.
“Sebelum ada mangrove, desa ini sering banjir. Dari sana lah saya berpikir apa yang harus dilakukan untuk mencegah banjir. Lalu saya menemukan mangrove. Masyarakat awalnya acuh tak acuh, sampai akhirnya mangrove ini besar dan memberikan banyak manfaat. Saya biasa menanam 2000 mangrove sendiri, butuh waktu 4 jam untuk menyelesaikannya. Setelah ditanam saya rawat sedemikian rupa, yang mati saya sulam kembali” ucap Bapak H. Tayeb, tokoh lingkungan penerima hadiah Kalpataru.
Tujuan dilaksanakan kegiatan ini adalah untuk mempererat silaturahmi dan menumbuhkan kembali semangat para pemuda untuk tetap menjadi garda terdepan dalam menyelamatkan pesisir Indonesia. Penanaman ini juga merupakan agenda Aquaculture Improvement Programme (AIP) WWF-Indonesia dengan Celebes Seaweed Group (CSG) Kab. Bone menuju standar Aquaculture Stewardship Council-Marine Stewardship Council (ASC-MSC) Seaweed (rumput laut). AIP CSG di Bone sudah dimulai sejak 2015, yang hingga 2018 masih dalam bentuk pendampingan Better Management Practice (BMP) Budidaya Rumput Laut Gracilaria, dan sejak 2019 CSG memulai penerapan AIP ASC-MSC Seaweed. Sebelumnya, telah dilakukan survei Biodiversity Environmental Impact Assessment (BEIA) dan Participatory Social Impact Assessment (pSIA) , penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Budidaya Gracilaria mitra tambak CSG Bone, pendataan produksi budidaya, serta pendampingan dalam bentuk diskusi-diskusi ringan dengan pembudidaya Gracilaria.
Sebagian tambak gracilaria yang ditelusuri oleh tim BEIA menunjukkan bahwa sejarah tambak tersebut adalah lahan mangrove yang sebelumnya dikonversi menjadi tambak sebelum Mei 1999. Berdasarkan temuan tersebut perusahaan harus bekerjasama dengan masyarakat, maupun pemerintah untuk mengembalikan atau mengonversi lahan bukan mangrove menjadi mangrove. Kegiatan penanaman kali ini merupakan Langkah pertama AIP ASC-MSC Seaweed CSG untuk merehabilitasi mangrove, dengan melakukan upaya konversi lahan ke mangrove seluas 1 hektar.