Jakarta (15/02) – Kelompok pelaku bisnis perikanan mengharapkan insentif positif dan dukungan dari pemerintah ketika nantinya mereka sudah berhasil meraih sertifikasi produk perikanan ramah lingkungan. Tidak hanya itu, mereka juga mengharapkan penyederhanaan dan kemudahan dalam memproses skema sertifikasi perikanan ramah lingkungan. Harapan tersebut disampaikan dalam pertemuan “Seafood Savers Plenary Meeting” yang diselenggarakan selama 2 hari mulai14-15 Februari 2012, di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat.Forum tersebut juga dihadiri oleh Direktorat Pemasaran Luar Negeri dan Direktorat Sumber Daya Ikan (SDI) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), belasan pebisnis perikanan dari dalam dan luar negeri, Kamar Dagang Indonesia (KADIN), investor, akademisi, serta komunitas pemerhati laut.
Insentif yang diharapkan oleh pebisnis tersebut merupakan bentuk pembayaran terhadap jasa lingkungan yang sudah mereka lakukan dalam menyelamatkan stok perikanan dan melakukan upaya konservasi sumber daya perikanan. Roosdinal Salim, perwakilan dari Kadin menyampaikan pentingnya dukungan dan komitmen semua pihak terkait sertifikasi yang harus diadopsi sehingga klaim bentuk sertifikasi-sertifikasi lainnya dapat dicegah. Untuk itu pihak berwenang yang dapat berkolaborasi dengan beberapa pihak independen harus terlebih dahulu membangun beberapa hal seperti logistik, infrastruktur, serta manajemen yang dapat diakses dan dapat diandalkan.
Stok perikanan yang menurun mulai dirasakan oleh beberapa pihak, seperti yang dirasakan oleh Heru Purnomo, eksportir ikan karang hidup ke Hongkong dan Cina yang telah berkecimpung dalam bisnis perikanan selama satu dekade terakhir. Sepuluh tahun yang lalu bisnisnya berjalan di daerah eksploitasi Indonesia bagian barat. Sekarang perusahaanya sudah menggeser area tangkap ke Indonesia bagian tengah. Menyadari dampak buruk , Heru mulai menerapkan aturan ketat kepada nelayan-nelayan yang mensuplai ikan ke perusahannya. Diantaranya adalah mengatur berat tangkap minimum dan berat tangkap maksimum, melarang penggunaan potas/sianida, serta arahan untuk menangkap di area-area sesuai peruntukan. Namun Heru merasa usahanya tidak diikuti oleh pebisnis yang lain, hal ini dirasakan dari jumlah tangkapan yang semakin menurun. Jumlah tangkapan di tahun 2010 menurun sebesar 30% dibandingkan tahun 2009. Tingkat penurunan yang sama pun terjadi di tahun 2011. Heru memperkirakan wilayah Indonesia bagian tengah hanya mampu bertahan 4-5 tahun ke depan jika terobosan dalam kebijakan di sektor perikanan secara menyeluruh tak kunjung dilakukan.
Pada kesempatan yang sama Saut Hutagalung, Direktur Pemasaran Luar Negeri KKP, menyampaikan bahwa nilai ekspor perikanan Indonesia naik menjadi 3.31 juta USD di tahun 2011 dari 2.86 juta USD di tahun 2010. Namun indikasi kenaikan ini ternyata tidak berbanding positif dengan jumlah tangkapan dari alam, dimana tuna hanya naik 1,02% di periode yang sama. Pernyataan Heru dan Saut senada dengan pernyataan yang disampaikan oleh Hary Christijanto, KaSubDit Laut Teritorial SDI KKP yang menyampaikan rata-rata wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia sudah mengalami status “Fully Exploited”.
Pihak dari Hotel Shangri-La yang diwakili oleh bagian Corporate Social Responsbility (CSR), Zainal Arifin, menyatakan siap melangkah lebih jauh dalam memenuhi permintaan konsumen akan produk perikanan ramah lingkungan yang sedang mulai tumbuh . Salah satu langkah nyata yang dilakukan adalah dengan menghapuskan sup sirip hiu dari menu restorannya sejak 17 Januari 2012. Selanjutnya mereka berharap dengan skema Seafood Savers yang dibangun oleh WWF-Indonesia pihaknya dapat naik ke level yang lebih baik.
Pertemuan dua hari tersebut menjadi salah satu tonggak penting perjalanan Seafood Savers sejak pertama kali mengadakan pertemuan inisiasi di bulan Oktober 2009. Pada pertemuan Seafood Savers kali ini, WWF mengeluarkan sebuah panduan untuk institusi yang ingin bergabung dan memulai pembenahan praktik bisnis mereka. Saat ini sekitar 12 perusahaan telah mengajukan diri untuk bergabung dalam Seafood Savers dan segera memulai memasuki tahap pengkajian untuk menjamin bahwa praktik bisnisnya telah memenuhi persyaratan yang diwajibkan.