Selasa kemarin, WWF, sebuah organisasi konservasi dunia, meluncurkan “The Living Planet report 2012”, sebuah laporan yang terbit 2 tahun sekali mengenai kondisi lingkungan kita. Salah satu tulisan penting dalam laporan tersebut adalah lingkungan laut yang semakin rusak akibat dari penangkapan ikan berlebihan, penangkapan ikan yang merusak, serta pemanasan global, dan polusi.
Laut di dunia ini menyokong kepentingan miliaran manusia. Laut menyediakan ikan dan komoditi seafood lainnya bagi asupan protein untuk manusia, serta rumput laut dan organisme laut lainnya yang digunakan sebagai bahan makanan, bahan kimia, energi, material untuk konstruksi. Sumberdaya tersebut memberikan sumbangsih luar biasa bagi pendapatan ekonomi sebagian besar masyarakat.
Namun bagaimana pun juga, perkembangan populasi dan konsumsi telah membawa sektor perikanan ke dalam aktivitas penangkapan yang melebihi daya dukung alam itu sendiri.
Perikanan tangkap global telah mengalami peningkatan yang sangat masif dalam satu dekade terakhir. Sebuah studi menunjukkan bahwa area yang tereksploitasi kapal penangkap ikan telah meningkat sepuluh kali lipat sejak tahun 1950-an. Sampai tahun 2006, 100 juta kilometer per segi luas lautan, atau sepertiga luas laut dunia telah terdampak oleh aktivitas penangkapan ikan. Jumlah tangkapan ikan dunia telah meningkat lima kali lipat dari jumlah 19 juta ton di tahun 1950 menjadi 87 juta ton pada tahun 2005, jauh melebihi kuota tangkapan yang dapat ditoleransi oleh laut kita.
Aktivitas perikanan tangkap juga semakin buruk karena mengakibatkan “bycatch” atau tangkapan sampingan, yang berarti tidak semua hasil tangkapan armada tersebut adalah target, sebagian diantaranya bisa jadi merupakan ikan juvenil (muda), spesies dilindungi, serta spesies yang memiliki peran penting di lautan. Tangkapan sampingan saat ini merupakan salah satu faktor yang memperburuk kondisi lingkungan laut kita.
Organisasi di bawah naungan PBB, FAO, mengonfirmasikan bahwa sektor budi daya perikanan dunia (diluar budi daya tumbuhan) telah meningkat dari satu juta ton per tahun di awal 1950-an menjadi 52 juta ton pada tahun 2008. Sayangnya, praktik-praktik budi daya di sektor perikanan masih menggaungkan praktik yang tidak ramah lingkungan, misalnya peralihan lahan hutan bakau, penggunaan zat kimia yang berlebihan, dan pengenalan spesies baru.
Sementara itu dunia perikanan di Indonesia juga menghadapi problema yang sama. Sebagai salah satu anggota dari kelompok BRIICS (Brazil, India, Indonesia, Cina, dan Afrika Selatan) – sebuah grup yang berisikan negara-negara dengan pertumbuhan cepat diantara negara berkembang lainnya – Indonesia juga mengalami pertumbuhan ekonomi serta pertumbuhan populasi yang tinggi.
Konsumsi ikan di Indonesia, seperti yang disampaikan Kementerian Kelautan dan Perikanan, telah meningkat dari 25 kilogram per kapita pada tahun 2006 menjadi 31 kilogram per kapita di tahun 2011.
Dalam laporan “The Living Planet Report 2012”, penduduk dengan pendapatan rendah dalam kelompok BRIICS, mengeluarkan uang lebih untuk membeli makanan daripada untuk transportasi, urusan rumah, serta barang dan jasa. Untuk negara Brazil, India, dan Indonesia, kebutuhan pangan mencapai lebih dari 50% dari rekam jejak lingkungan di sebuah rumah tangga.
Tekanan-tekanan yang dialami oleh laut kita sebaiknya membuat kita berpikir tentang bagaimana pola konsumsi kita, bagaimana eksplotasi dan produksi kita, serta bagaimana kita mendistribusikan komoditi seafood kita, dalam rangka meminimalkan dampak dan memastikan keberlanjutan sumber daya laut kita di masa mendatang.
Pada tahun 2009, WWF Indonesia mentasbihkan “Seafood Savers”, sebuah wadah bagi dunia bisnis perikanan, ritel, dan insitusi keuangan untuk berdiskusi dan mengimplementasikan praktik bisnis perikanan yang ramah lingkungan.
Sektor bisnis dapat mengakibatkan dapak buruk kepada sumberdaya alam, tapi juga dapat mengarahkan dunia kepada aktivitas yang berkelanjutan secara jangka panjang. Pembentukan kelompk Seafood Savers bertujuan untuk mempromosikan industri perikanan yang ramah lingkungan dengan mengadopsi tiga strategi.
Yang pertama, meningkatkan permintaan akan seafood yang ramah lingkungan, yaitu seafood yang ditangkapn, diproses, serta didistribusikan secara ramah lingkungan dari hulu ke hilir, dari laut ke piring makan kita.
Melalui anggota-anggota Seafood Savers, kampanye ini diharapkan dapat menjangkau konsumen seafood dan sekaligus mempromosikan pentingnya seafood yang berkelanjutan.
Yang kedua, mempromosikan industri perikanan yang berkelanjutan melalui pengimplementasian program perbaikan perikanan dan budi daya berdasarkan kriteria sertifkasi Dewan Penatalayanan Kelautan (Marine Stewardship Council - MSC), dan Dewan Penatalayanan Budi daya Perikanan (Aquaculture Stewardship Council - ASC).
Yang terakhir, mempromosikan dan mendorongkan adopsi kebijakan yang mendukung implementasi perikanan yang berkelanjutan di Indonesia, seperti Pendekatan Ekosistem Terhadap Manajemen Perikanan (Approach to Fisheries Management – EAFM) dan perdagangan yang berkeadilan.
Sejak diinisiasi pada tahun 2009, Seafood Savers telah mendapatkan respon yang positif dari para pemain di industri ini. Sampai tulisan ini diturunkan sebanyak 14 perusahaan yang terdiri dari 11 produsen dan 3 ritel – dengan total nelayan yang dengan perusahaan-perusahaan tersebut lebih dari 10.000 orang – telah mengirimkan formulir pendaftaran untuk menjadi anggota. Lima diantaranya bahkan telah melangkah lebih jauh untuk menandatangani perjanjian dengan WWF Indonesia sebagai tahap awal dari upaya perbaikan perikanan, dan selangkah lagi menuju sertifkasi penuh.
Hanya ada satu bumi. “The Libing Planet Report 2012” menggarisbawahi tekanan yang diberikan oleh populasi manusia kepada bumi ini. Saat ini, kita menggunakan 50 persen lebih dari jumlah sumber daya yang dapat diberikan oleh bumi ini. Pada tahun 2012 diperkirakan 2 bumi pun tidak akan cukup memenuhi kebutuhan manusia saat itu.
Kita semua membutuhkan makanan, air, dan energi, dan semua komoditi tersebut datang dari alam. Alam butuh pengelolaan yang bertanggung jawab. Termasuk menyusun ulang strategi bisnis yang vital untuk masa depan kita. Seafood savers bekerja dengan pemikiran yang maju dan sektor yang strategis dalam menciptakan dampak positif dan signifikan bagi bisnis perikanan di Indonesia.
Bagaimana pun juga, inisiatif ini tidak dapat dicapai oleh entitas yang tunggal. Saat ini lah pemerintah, pebisnis, masyarakat sipil, dan komunitas-komunitas lokal yang bergantung langsung maupun tidka langsung terhadap sumberdaya kelautan, serta produsen dan konsumen dituntut untuk berjalan beriringan dalam memilih pilihan yang berkelanjutan bagi kehidupan manusia, laut, dan bumi.
Penulis adalah direktur program kelautan di WWF Indonesia. Salah satu poin penting yang diemban oleh penulis adalah “Seafood Savers”, inisiatif WWF untuk memberikan wadah bagi industri perikanan dalam mengimplementasikan praktik dan bisnis perikanan yang berkelanjutan.