Tanjung Batu (20/5)–Sejumlah nelayan tampak berkumpul di kantor Lembaga Ekonomi Pengembangan Perikanan (LEPP) Tanjung Batu, Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Mereka sedang memperhatikan materi yang diberikan Totok Yudhiyanto, bidang produksi, PT Indomarind, Batam, tentang bagaimana proses menangani ikan setelah ditangkap agar tetap segar sampai di tangan konsumen. Selain menerima modul mengenai tata cara penanganan (handling) dan pengemasan (packing) produk ikan segar, mereka juga menerima materi video dan foto pendukung.
Kegiatan di atas merupakan bagian dari kegiatan Pelatihan Handling dan Packing Produk Perikanan Segar yang diadakan Fisheries WWF Indonesia yang diadakan pada 20 Mei 2011. Kegiatan ini melibatkan perwakilan dari beberapa kelompok masyarakat dan pengepul yang ditargetkan untuk berpartipasi dalam program Seafood Saver di Berau, Kalimantan Timur. Mereka adalah perwakilan dari Kelompok Kabilahian, LEPP, Jaringan Nelayan (JALA) Tanjung Batu, dan UD Mutiara Tanjung Batu, serta perwakilan pengepul ikan dari Kecamatan Biduk - Biduk dan Kampung Balikukup.
“Penanganan ikan segar hasil perikanan tangkap maupun budi daya pada prinsipnya hampir sama, yaitu menekankan pada kebersihan dan kualitas ikan agar diperoleh ikan segar dengan kondisi yang tetap prima,” jelas Totok.
Teknik handling dan packing pada dasarnya adalah pengetahuan umum yang rata-rata sudah familiar di kalangan para nelayan. Namun, umumnya, mereka tidak familiar secara teori. Karena itu, pelatihan ini diberikan untuk menyamakan standar agar kapasitas para nelayan dalam tata cara handling dan packing meningkat. Dengan begitu, diharapkan kualitas produk ikan segar tersebut dapat terjaga dan diterima oleh pasar yang lebih luas.
“Dari kegiatan ini diharapkan nelayan maupun pengepul nantinya tidak usah menangkap ikan secara membabi-buta, misalnya menggunakan bom ikan atau potas, untuk meraih keuntungan. Karena dengan mempraktikkan cara handling dan packing ikan dengan baik dan benar, serta menerapkan cara tangkap yang ramah lingkungan, mereka memiliki peluang untuk meraih keuntungan lebih,” jelas Candhika Yusuf, Fisheries Officer, WWF Indonesia.
Perlu diketahui, ikan yang dihasilkan dari cara tangkap dengan menggunakan bom ikan ataupun potas memiliki kualitas yang buruk, seperti cacat fisik, cepat busuk, dan sebagainya, sehingga harganya pun jauh dari yang diharapkan.
WWF-Indonesia program Perikanan juga menyusun Best Management Practice (BMP), yang berisi guidelines mengenai cara tangkap yang ramah lingkungan serta spesifikasi berat dan panjang ikan yang layak untuk ditangkap. Misalnya, ikan kerapu X, minimal harus mencapai ukuran panjang XX cm, baru boleh ditangkap. Kalau kurang dari XX cm maka ikan kerapu tersebut masih remaja, artinya belum bereproduksi.
Pemisalan tersebut digunakan karena setiap jenis ikan memiliki ukuran tangkap minimum yang berbeda pula. Contoh : Plectropomus maculatus atau yang disebut dengan kerapu sunu atau sunu memiliki ukuran tangkap minimum 54 cm, sedangkan Cromileptes altivelis atau yang disebut kerapu bebek atau kerapu tikus memiliki ukuran tangkap minimum 39 cm, sementara itu Lutjanus malabaricus atau yang disebut kakap merah memiliki ukuran tangkap minimum 54 – 57.6 cm. Perbedaan ukuran tangkap minimum dari ikan – ikan tersebut tergantung pada siklus reproduksi mereka yang berbeda–beda satu dengan lainnya. Pada dokumen BMP Perikanan Kerapu dan Kakap dijelaskan lebih lanjut mengenai berbagai ukuran tangkap minimum dari berbagai jenis ikan kerapu dan kakap.
”Dengan menetapkan ukuran minimal ikan yang boleh ditangkap, diharapkan ikan tersebut minimal telah bereproduksi satu kali sebelum ikan tersebut ditangkap nelayan. Dengan begitu, stok ikan di laut tetap ada," pungkas Candhika.