Nelayan masih banyak menggunakan alat tangkap yang tidak selektif sehingga menyebabkan tingginya tangkapan samping (bycatch) dan overfishing. Akibatnya stok perikanan terus menurun dan ikan semakin sulit ditangkap. Nelayan dan perusahaan pun merugi karena biaya melaut terus meningkat akibat lokasi pemancingan semakin jauh. Seringkali upaya dan biaya yang dilakukan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Dari sisi budi daya perikanan, intensifikasi dan ekstensifikasi tambak tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan justru akan menjadi bumerang. Tambak yang tidak sehat akibat pencemaran lingkungan membuat komoditas tambak rentan penyakit dan tidak bisa berproduksi secara maksimal. Senada dengan pesan Dr. Lida, Margareth kembali mengingatkan peserta untuk melihat isu keberlanjutan sebagai investasi strategis. “Praktik yang berkelanjutan bukan sebatas perlindungan alam tetapi juga jaminan bagi kelangsungan bisnis perikanan. Sayangnya pelaku industri perikanan belum melihat hal ini sebagai investasi, namun sebagai biaya tambahan yang memberatkan,” ujar Margareth. Investasi untuk proses sertifikasi perlu dilihat sebagai jaminan bisnis dimasa depan. Dirjen P2HP KKP yang hadir pada sesi tersebut turut memberikan penekanan pada poin tersebut. “Memperoleh sertifikat bukantujuan, melainkan langkah menuju keberlanjutan perikanan. Saat ini beberapa perikanan di Indonesia sudah punya potensi untuk lolos dan memperoleh sertifikasi MSC. Keterlibatan berbagai pihak sangat penting untuk mendorongkan mereka untuk memperoleh sertifikasi untuk perikanan yang berkelanjutan,” jelas Saut. Dalam rangkaian WCRC 2014, tim Seafood Savers juga membuka stan di mana pelaku bisnis dan konsumen bisa mendapatkan informasi tentang praktik perikanan yang berkelanjutan. We #choose2save !