Ada kisah menarik dibalik pola rantai perdagangan udang di Kalimantan Utara (Kaltara). Pola rantai yang dilakukan oleh lima komponen pengepul udang di Kaltara ini, yaitu pekerja atau penjaga tambak, isteri pekerja atau penjaga tambak, petani tambak, pos atau juragan, dan pabrik. Pola hubungan di antara kelimanya memiliki hubungan yang unik dan bisa dilihat dari lingkup paling kecil hingga lingkup yang paling besar. Pola dimulai dari hubungan antara pekerja atau penjaga tambak dengan petani tambak. Penjaga tambak yang menempati posisi paling bawah ini harus melakukan pekerjaan yang cukup berat diantara pengepul udang lainnya. [caption id="attachment_785" align="alignnone" width="3648"] © WWF-Indonesia/ANDI P.L[/caption] Mereka yang bekerja untuk para petani tambak ini harus bekerja di tambak tertutup akses terhadap sumber daya yang ada. Tidak ada listrik, tidak ada hiburan dan terkadang sinyal handphone pun tidak ada. Para penjaga tambak ini harus menikmati hari-hari dalam kesunyian dan kesendirian agar bisa menyerahkan hasil keringatnya kepada petani tambak. Pekerja ini biasanya adalah orang-orang yang datang dari Sulawesi dan NTT yang sudah lama menetap di Kota Tarakan. Setelah menjalin hubungan dengan penjaga tambak, petani harus menjual panen kepada pos atau perantara yang dijadikan sebagai penampung udang petani tambak sebelum masuk ke Pabrik. Ada dua kategori pos, yaitu pos kecil dan pos besar. Pos kecil biasanya dikelola masyarakat atau petani tambak yang memiliki modal besar dan pandai berdagang. Serta pos besar biasanya dikelola oleh pengusaha menengah dan besar. Pemilik pos besar ini biasanya disapa dengan sebutan “bos”. Terdapat juga pola hubungan antar pos kecil dan pos besar sebelum menyerahkan udang dari petani tambak kepada pabrik. Peran Pos Besar yang Diagungkan Pos besar ini juga disebut sebagai middleman atau pengepul besar. Ternyata pos besar berperan sebagai aktor utama dalam rantai perdagangan udang di Kaltara. Pos besar memiliki akses dan pengaruh paling besar terhadap pengambilan keputusan, baik terhadap pemilik tambak, pos kecil, bahkan sampai ke perusahaan prosessing udang. Adanya sistem pembelian udang dengan tambahan komisi serta keterbatasan sumber bahan baku menjadikan posisi pos besar diagungkan dalam menentukan operasional perdagangan udang di Kaltara. Karena Pos besar selalu ada ketika para pembudidaya membutuhkan dana segar untuk aktivitas tambak. Namun, selama mereka memiliki “hutang” kepada pos besar maka selama itulah mereka harus menjual hasil panen udangnya dengan harga yang telah ditentukan. Pola rantai hubungan dalam perdagangan udang di Kaltara ini diperoleh dari hasil studi yang dilakukan oleh WWF-Indonesia bersama konsultan dari Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumberdaya Pembangunan (LPPSP) Semarang yang dipimpin oleh DR Indra Kertati MSi. Penelitian mengenai kondisi relasi gender serta rendahnya kesadaran pelaku dalam rantai perdagangan udang di Kaltara tersebut dilakukan pada bulan Januari - Maret 2016. Penelitian ini tidak lepas dari kegiatan Program Peningkatan Perikanan Budi daya yang dilakukan oleh WWF-Indonesia untuk mendampingi para pembudidaya di Kaltara dalam menghasilkan udang windu yang bisa diterima oleh pasar nasional dan internasional. Mengingat permintaan pasar yang semakin meningkat terhadap produk yang bersertifikasi ekolabel, maka para pelaku usaha budi daya udang windu di Kaltara perlu menyediakan sertifikat ekolabel untuk produk udang, yaitu sertifikatAquaculture Stewardship Council (ASC) – Shrimp. Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara sangat mengapresiasi kegiatan yang dilakukan oleh WWF-Indonesia dalam membantu meningkatkan kesejahteraan para pembudidaya udang di wilayah mereka. Harapannya, hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan oleh stakeholder terkait dalam melakukan perbaikan di masa mendatang.