Sumber daya ikan tuna merupakan komoditas ekonomis penting di dunia. Sifatnya yang biasa mengadakan ruaya jauh menjadikan tuna sebagai jenis perikanan yang paling diatur (most regulated fisheries) di dunia.
Sebagai negara yang menjadi “rumah” bagi tuna, Indonesia bergabung dengan 3 organisasi perikanan tuna regional, yakni IOTC (Indian Ocean Tuna Commission), WCPFC (West and Central Pacific Fisheries Commission), dan CCSBT (Commission on Conservation of Southern Bluefin Tuna).
Sayangnya, partisipasi aktif ini tidak diimbangi oleh kualitas sumber daya manusia, terutama peneliti-peneliti manajemen perikanan tuna. Dari pengalaman sebagai peneliti di Indonesia, kendala yang kami temui saat ini umumnya terkait oleh biaya penelitian yang mahal, aksesibilitas serta proses penelitian yang masih sulit dan terbatas.
Permasalahan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, akan tetapi di negara-negara kepulauan di Samudera Hindia dan Pasifik. Menanggapi hal ini, beberapa organisasi perikanan dunia dan lembaga swadaya masyarakat mencoba menjembatani permasalahan manajemen tuna. Salah satu cara strategis penanganan adalah melalui tawaran lokakarya dan pelatihan singkat dengan pendampingan dari pakar-pakar manajemen perikanan dunia.
Salah satu lokakarya dan pelatihan yang kami ikuti adalah Areas Beyond National Jurisdiction (ABNJ): Western and Central Pacific Ocean Tuna Management Workshop. Lokakarya ini merupakan bagian dari “Sustainable Management of Tuna Fisheries and Biodiversity Conservation in Areas Beyond National Jurisdiction” (ABNJ Tuna project).
Lokakarya yang dilaksanakan di Bali pada tanggal 1-2 Agustus 2017 ini diimplementasikan Oleh WWF-Indonesia. Acara serupa telah digelar sebelumnya di Srilanka (pelatihan pertama dan keempat), Panama (pelatihan kedua), dan Ghana (pelatihan ketiga).
Sebagai seorang peneliti muda yang menggeluti perikanan tuna, pelatihan ini memberikan angin segar dan kesempatan pembelajaran yang baik. Pelatihan ini sedikit berbeda dari beberapa pelatihan yang pernah saya ikuti selama ini.
Fokus dari pelatihan ini adalah memberikan pemahaman mengenai dasar-dasar manajemen perikanan tuna, terutama mengenai beberapa istilah-istilah teknis yang digunakan dalam kajian stok, model operasional, maupun evaluasi strategi manajemen.
“Kuliah singkat” tersebut dikemas dalam bentuk permainan, diskusi antar kelompok dan presentasi visual yang menarik sehingga diharapkan peserta pelatihan dapat menyerap materi dengan cepat. Sesi ini dipandu oleh beberapa peneliti perikanan ternama di dunia, yakni Ian Cartwright, Jim Ianelli, dan Alice McDonald.
Pelatihan juga memberikan kesempatan bagi para pesertanya untuk belajar dari actual case dan menggunakan actual data perikanan tuna di dunia (albakora selatan Pasifik dan tuna sirip biru selatan).
Kami juga diberi kesempatan untuk melakukan simulasi dari berbagai macam skema pengelolaan perikanan yang disimulasikan secara inovatif dalam program R untuk menguji bagaimana Management Strategic Evaluation (MSE) merespon terhadap beberapa skenario harvest control rules (HCR) (baca: aturan main).
MSE dan HCR merupakan pendekatan yang menarik dalam hal pengelolaan perikanan tuna. Metode ini telah terbukti berhasil di perikanan tuna sirip biru selatan, dimana HCR yang diterapkan adalah pembatasan hasil tangkapan melalui kuota penangkapan.
Metode ini juga sedang diterapkan untuk pengelolaan sumber daya cakalang di Indonesia, khususnya di WPP 713, 714, 715 dan 716. Keunggulan dari metode ini adalah kita dapat mensimulasikan beberapa skenario pengelolaan, bahkan ketika data yang ada sangat terbatas, seperti data produksi.
Hal yang menarik dari penerapan MSE cakalang yang sedang dilakukan di Indonesia adalah kontribusi aktif dari industri, asosiasi perikanan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pemerintah, dan lembaga penelitian luar negeri yang bersama-sama menyumbangkan data dan menyepakati aturan main dalam penegelolaan perikanan cakalang berdasarkan analisis saintifik yang telah disepakati.
Apabila proses ini berhasil, kemungkinan besar, metode serupa juga bisa diterapkan pada perikanan yang lain (misal: demersal, pelagis kecil, lobster) atau pada daerah lainnya di Indonesia.
Sesi diskusi MSE dan HCR dipandu oleh Nokome Bentley, seorang statistisi perikanan dunia yang terkenal dari Selandia Baru. Kesempatan untuk bertukar pikiran dengan para ahli-ahli perikanan dunia, berbicara face to face merupakan pengalaman yang sangat berharga.
Indonesia butuh lebih banyak pelatihan serupa, yang bermanfaat bagi para stakeholder, khususnya peneliti-peneliti muda dalam lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan maupun dari LSM yang bergerak di manajemen perikanan. Semoga, hal ini dapat mendorong Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam pengelolaan perikanan tuna dan sejenisnya.