Masih ingat dengan Kelompok Samaturu’e? Ya, Samaturu’e – yang berarti ‘sama-sama berjuang‘ dalam bahasa lokal, adalah kelompok pembudidaya rumput laut Gracilaria binaan WWF-Indonesia dan Celebes Seaweed Group (CSG) di Takalar.
Setelah dua bulan dikukuhkan, hari itu (10/09/17), pembudidaya rumput laut dari kelompok tampak menghadiri kegiatan pengabdian masyarakat dari ketua dan jajaran dosen program studi Budi daya Perairan (BDP) Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Universitas Hasanuddin (Unhas).
Bekerja sama dengan WWF-Indonesia dan CSG, kegiatan ini berlangsung di Ling. Cilallang, Kelurahan Takalar, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar.
“Ke depannya, diharapkan akan ada tambak percontohan yang menerapkan Better Management Practices (BMP) Rumput Laut dari WWF-Indonesia. Tetapi sebelum mencapai itu, anggota kelompok mengharapkan masukan dari semua pihak termasuk para dosen, dari kalangan akademisi,” buka Idham Malik, Aquaculture Officer, WWF-Indonesia.
Syaifuddin Caco, ketua Kelompok Samaturu’e, menyambut baik lima belas dosen BDP Unhas yang turut hadir hari itu. Tujuan kegiatan ini memang dalam rangka pertukaran informasi untuk penemuan solusi atas masalah-masalah yang dihadapi dalam pembudidayaan rumput laut Gracilaria.
“Memang, kondisi Gracilaria di Mappakasunggu secara umum, hanya di bulan Juli-Agustus yang menunjukkan kondisi rumput laut yang bagus,” ungkap Dr. Ir. Rustam, M.Sc, dosen Budi daya Perairan Universitas Hasanuddin.
“Persoalan utama yang terlihat pada budidaya Gracilaria menunjukkan suhu air rata-rata cukup tinggi, kondisi rumput laut mengalami patah cabang dan kerusakan pigmen, serta kerdil lantaran kekurangan unsur nitrat dan posfat,” lanjut ia.
Kondisi makhluk hidup yang dibudidayakan akan merepresentasikan kondisi lingkungannya. Jadi, petambak harus jeli melihat perubahan signifikan yang terlihat dari rumput laut.
Misalnya saja, ketika rumput laut berubah warna menjadi hitam, itu sudah menunjukan bahwa dasar tambak mengalami peningkatan konsentrasi bahan organik dan zat amoniak, serta memiliki pH yang rendah. Di sinilah tambak perlu diistirahatkan dengan melakukan pengeringan tambak dan pengerukan lumpur.
Tak sekedar pengeringan tambak, tetapi juga diperlukan pengangkatan lumpur untuk menaikkan kebasaan pH tanah; pencucian tambak dari amoniak; hingga pengapuran tambak untuk meningkatkan pH tanah.
Hari itu, pembudidaya belajar bagaimana mengatasi hal tersebut dalam Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB). Mereka memahami, persiapan tambak menjadi faktor penunjang hasil produksi rumput laut yang optimal nantinya.
“Pengolahan atau persiapan tambak sebelum melakukan penebaran bibit, penggunaan bibit yang berkualitas, aplikasi teknologi untuk menjaga kondisi kualitas air tetap mendukung pertumbuhan rumput laut, pemupukan secara bertahap dengan dosis yang sesuai, menjadi “pekerjaan rumah” kita bersama-sama pembudidaya,” ungkap Idham Malik menyimpulkan hasil diskusi hari itu.
Selain itu, kegiatan ini juga menyimpulkan perlu adanya pengawasan dari proses budi daya sampai pasca panen dengan mengaplikasikan cara budidaya yang baik, serta perlu dilakukan penanaman mangrove di area tambak untuk menjaga kondisi lingkungan tetap baik dengan adanya keseimbangan ekosistem.
Kegiatan ini, ternyata, juga membuahkan hasil lainnya. Selang dua hari, pada 12/09/2017, pertemuan lanjutan menyepakati komitmen untuk membantu enam pembudidaya yang berminat untuk melakukan pengeringan total, pengapuran, dan pencucian tambak, serta penanaman mangrove di saluran air dan pinggir pematang.
Kabar gembiranya, proses pengeringan dan penanaman mangrove akan dilakukan secara bersama, dengan memanfaatkan sumber daya bersama. Tentunya, demi kualitas produksi rumput laut yang lebih baik dari Kelompok Samaturu’e di Mappakasunggu, Takalar.