Kelompok ikan tuna cenderung tertarik dan berasosiasi dengan material terapung yang berada di sekitarnya. Sifat ini yang menjadikan rumpon sebagai alat bantu yang cukup efektif dalam penangkapan tuna. Di Indonesia, rumpon mulai marak digunakan di perairan selatan Jawa Timur pada periode 1990-an. Rumpon yang dibiarkan terapung akan mengumpulkan ikan agar nelayan lebih mudah dalam melakukan aktivitas penangkapan.
Terbukti, tahun 2015 sekitar 50% produksi ikan tuna di Indonesia berasal dari penangkapan di sekitar rumpon. Namun sayangnya, peningkatan produksi ini diiringi juga dengan banyak tertangkapnya juvenil-juvenil ikan tuna yang diduga kuat tertangkap di sekitar rumpon. Hal ini tentu saja akan memberikan keuntungan ekonomi yang cukup nyata pada nelayan dalam jangka pendek, namun tujuan utama pengelolaan perikanan tangkap tetaplah meraih keuntungan jangka panjang. Latar belakang ini yang kemudian mendasari pengumpulan data dan informasi untuk mengevaluasi keberlanjutan pemanfaatan ikan tuna berbasis rumpon di perairan selatan Jawa Timur.
Selama bulan Maret 2016 sampai Juli 2017, WWF-Indonesia bersama Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya melaksanakan penelitian terkait performa penangkapan tuna berbasis rumpon di perairan selatan Jawa Timur. Setelah lebih dari satu tahun penelitian, diketahui bahwa jumlah armada yang beroperasi menggunakan rumpon melebihi dari jumlah rumpon optimum dan tingginya tingkat tertangkapnya juvenil ikan tuna akan berdampak pada keberlanjutan perikanan tuna di kawasan tersebut.
Hasil tangkapan ikan tuna sirip kuning, tuna mata besar dan tuna albakora yang didaratkan di PPI Pondokdadap, Malang memiliki ukuran tangkap yang lebih besar dari ukuran matang kelaminnya. Namun, tertangkapnya juvenil ikan tuna yang bercampur dengan ikan cakalang bisa menjadi kendala keberlanjutan usaha penangkapan ikan tuna ke depan”, ucap Dr. Dewa Gede Raka Wiadnya dalam salah satu penyampaiannya. Beliau juga menyampaikan penghitungan untung-rugi dari usaha penangkapan ikan tuna ini masih memiliki ketidakpastian yang relatif tinggi.
Adrian Damora dalam penyampaiannya mengatakan, “Estimasi total area pemasangan rumpon berdasarkan poligon luasan yang didapatkan dari plotting koordinat rumpon adalah 219.792 km2. Dan mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26/PERMEN-KP/2014, jumlah rumpon optimum berdasarkan luasan aktual tersebut sebanyak 814 unit, dengan alokasi unit penangkapan armada penangkapan sekoci (armada penangkapan tuna utama di PPI Pondokdadap) sebanyak 380 unit.” Sebagai informasi, saat ini terdapat 644 unit armada penangkapan sekoci yang beroperasi dan mendaratkan hasil tangkapannya di PPP Pondokdadap.
Hasil penelitian tersebut dipaparkan dalam sesi diseminasi pada tanggal 26 September 2017 silam di Aula Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Kota Malang. Ir. Sukandar, M.Si selaku perwakilan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya membuka kegiatan yang dihadir oleh berbagai perwakilan pemangku kepentingan, diantaranya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur, Dinas Perikanan Kabupaten Malang, Dinas Perikanan Kabupaten Trenggalek, dan perwakilan dari kelompok nelayan di Sendangbiru, Kabupaten Malang. Dua tema hasil penelitian disampaikan oleh dua pembicara, yakni Dr. Dewa Gede Raka Wiadnya dari Universitas Brawijaya dan Adrian Damora dari WWF-Indonesia.
Hasil kajian ini akan dijadikan dasar oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur untuk menyusun pengaturan kuota tangkap ikan tuna untuk nelayan skala kecil. Hal ini merupakan bagian dari skema harvest control rules dan implementasi inovasi dari right-based fisheries management untuk perikanan tuna di wilayah administrasinya. Penelitian serupa harapannya juga bisa diduplikasi di basis-basis perikanan tuna lainnya di Provinsi Jawa Timur agar semakin banyak data-data ilmiah yang dikumpulkan untuk merumuskan pengelolaan perikanan tuna di provinsi ini.